Surat
Pemberitahuan atau yang biasa disingkat dengan SPT adalah surat wajib yang oleh
Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pasal 3 Undang-Undang KUP juga
menegaskan kewajiban bagi setiap Wajib Pajak untuk mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan
jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan
mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikan ke Kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain
yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Pengertian “lengkap” pada penjelasan
diatas yaitu memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan Objek Pajak dan
unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT. Salah satu unsur tersebut
adalah harta. Harta adalah barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan,
barang milik seseorang, atau kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud yang
bernilai dan menurut hukum dimiliki oleh perusahaan. Kewajiban pencantuman
daftar harta pada SPT Tahunan PPh OP (Pajak Penghasilan Orang Pribadi) telah
diwajibkan sejak pengisian SPT tahun 2001 yang disampaikan paling lambat 31
Maret 2002. Namun, pada kenyataanya masih banyak dari WP yang enggan untuk
mencantumkan daftar hartanya sesuai dengan kondisi pada akhir tahun takwim (31
Desember). Alasannya beragam, ada yang mengatakan bahwa fiskus (pemungut pajak)
tidak perlu mengetahui jumlah hartanya, yang penting kan setoran pajaknya. Ada
juga yang berpikiran bahwa mencantumkan semua daftar harta secara lengkap dapat
memancing fiskus untuk memeriksa dan memeras. Pendapat lain mengatakan,
pengisian daftar harta secara lengkap dapat berpengaruh pada pajak-pajak harta
yang belum dipajaki secara benar. Namun, apakah fungsi pencantuman daftar harta
pada SPT?
Daftar harta pada SPT digunakan oleh
fiskus sebagai sarana untuk melihat pertambahan harta dari tahun ke tahun
apakah rasional atau tidak bila dibandingkan dengan penghasilannya, sebagai
sarana untuk mengungkap adanya kewajiban-kewajiban pajak yang lain berkaitan
dengan harta, serta untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya penghasilan
yang belum dikenakan pajak. Pencantuman harta pada SPT bukanlah semata-mata
untuk menilai atau mengukur tingkat kemakmuran WP melainkan lebih menekankan pada sisi kesadaran dan kepatuhan WP untuk
membayarkan pajaknya yang terutang. Tidak dipungkiri bahwa sebenarnya manusia
di dunia ini pada dasarnya tidak ingin membayar pajak. Namun, suatu sistem perpajakan memaksa kita
untuk membayar pajak dengan harapan akan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat dan ketentuannya diatur menurut undang-undang.
Masalah penting tidaknya pencantuman
harta pada SPT memang menjadi tanda tanya besar bagi sebagian WP. Masih banyak
orang yang bertanya-tanya untuk apa pengisian daftar kolom harta pada SPT. Tidak
terlalu penting bagi mereka sehingga banyak yang menyepelekan karena masih
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
pengisian serta maksud dan tujuan
pencantuman harta. Kegunaan pencantuman harta pada kolom SPT sebenarnya lebih
cenderung dirasakan oleh fiskus, dan WP pun tidak merasakan akan pentingnya
pencantuman tersebut bahkan mereka malah merasa dengan adanya pencantuman
tersebut akan berdampak pada jumlah pajak yang harus dibayar menjadi bertambah
besar dan secara otomatis akan memberatkan mereka.
Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang
dikenakan tarif dan menghasilkan besarnya pajak yang terutang oleh WP merupakan
sesuatu yang menentukan dan perlu dipertimbangkan terkait dengan kebenaran,
kepatuhan, kejujuran serta kesadaran bagi pembayar pajak apakah sudah sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya atau belum. Suatu kebanggaan dan harapan yang
semua orang serta negara idam-idamkan untuk tercapainya ‘kesadaran membayar
pajak’ guna meningkatkan kesejahteraan umum sehingga orang tidak lagi merasa
terpaksa dan secara sukarela untuk membayar pajak.
Harta sebagai salah satu sarana
penimbun kekayaan seseorang yang bisa digunakan untuk kepentingan kehidupan
sehari-hari maupun digunakan untuk kepentingan yang mendesak dan bersifat tidak
tentu. Harta ini dapat diperoleh dari penghasilan setelah dikurangi dengan
biaya-biaya kebutuhan yang bersifat pokok. Seseorang cenderung menggunakan uang
(lebih) untuk diinvestasikan kedalam berbagai macam bentuk investasi. Dalam hal
ini adalah barang (harta). Untuk memepermudah penjelasan, maka disajikan
ilustrasi sebagai berikut :
Terdapat
seseorang bernama Pandoyo yang memiliki beberapa rumah disejumlah daerah di ibu
kota Jakarta. Yaitu di kawasan Pondok Indah, Serpong, Menteng. Selain
rumah-rumah tersebut, Pandoyo juga memiliki Perkebunan Teh yang berada
Sumatera. Di masing-masing rumah Pandoyo
terdapat tiga buah mobil dengan merk yang cukup terkenal yang digunakan untuk
keperluannya serta keluarganya untuk berpindah dari satu rumah ke rumah yang
lain. Pandoyo pun selalu menggunakan mobil yang berbeda setiap kali bepergian,
karena Pandoyo termasuk orang yang mudah bosan.
Kasus
:
·
Pada
akhir periode penyampaian SPT (31 Maret) Pandoyo mencantumkan semua daftar
harta diatas dan penghasilannya sebesar Rp. 50.000.000,00.
Pada contoh kasus di atas pajak yang
terutang oleh Pandoyo adalah sebesar 5% x Rp. 50.000.000,00 (asumsi Rp.
50.000.000,00 adalah PKP) yaitu sebesar Rp. 2.500.000,00. Terdapat kejanggalan
terkait dengan kasus tersebut. Harta yang dimiliki oleh Pandoyo tidak seimbang
dengan besarnya penghasilan yang didapat dan juga besarnya pajak yang harus
dibayar. Bagaimana mungkin seseorang memiliki harta yang melimpah namun dari
segi penghasilan yang biasa-biasa saja. Disebutkan lain jika Pandoyo
mendapatkan harta tersebut hasil dari hibah atau warisan dan sejenisnya. Namun
kemungkinannya sangat kecil, mengingat harta yang dimiliki Pandoyo sangat
melimpah. Inilah tugas fiskus untuk memeriksa kebenaran pajak yang seharusnya
terutang. Melalui data yang ada fiskus bisa mengetahui pajak yang sebenarnya
terutang dan mengetahui sebenarnya penghasilan yang didapat oleh Pandoyo,
apakah Pandoyo benar-benar mencantumkan penghasilannya sesuai dengan kenyataan
yang ada atau Pandoyo menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya dengan melakukan
tindak ketidakjujuran. Di sinilah fungsi daftar harta sangat diperlukan yang
digunakan untuk memeriksa keadaan yang sebenar-benarnya WP dan besarnya pajak
yang harus dibayar sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.
Pada dasarnya, WP cenderung selalu
mencari celah agar bisa terhindar dari kewajiban membayar pajak. Begitu juga
yang terjadi pada kasus Pandoyo, ada kemungkinan bahwa Pandoyo melakukan sebuah
upaya untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak. Namun, dalam hal ini
berperan fungsi Pemeriksaan Pajak yang bertujuan salah satunya adalah memeriksa
kepatuhan WP. Di Indonesia sendiri sistem pemungutan pajaknya yaitu self assesment dan witholding tax. Self assesment merupakan sistem pemungutan pajak
dengan WP memiliki hak yang tidak boleh
diintervensi oleh pejabat pajak. WP menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan
menyetor jumlah pajak yang terutang. Wajib pajak diberikan kepercayaan, dan
apakah WP tersebut menggunakan kepercayaan yang diberikan dengan baik atau
tidak. Hal ini berkaitan dengan kepatuhan WP. Kepatuhan terhadap pajak sangat penting.
Tercapainya tingkat kepatuhan WP yang tinggi akan dapat menjamin bahwa setiap
warga negara telah memberikan kontribusinya dalam rangka pembangunan negara.
Kembali pada kasus Pandoyo yang
kemungkinan besar berusaha melakukan penghindaran terhadap kewajiban pajak maka
tingkat kepatuhannya masih rendah. Pandoyo masih belum mengerti akan pentingnya
untuk membayar pajak. Terdapat ketidaklengkapan dan ketidakjelasan dalam
pengisian SPT.
Tingkat kesadaran dan kepatuhan WP
Orang Pribadi dan Badan masih terbilang sangat rendah. Kondisi demikian dapat berakibat menurunnya
potensi penerimaan negara dari pajak. Padahal, penerimaan perpajakan setiap
tahun harus ditingkatkan. Pencantuman harta pada SPT sangatlah penting,
dikarenakan data tersebut dibutuhkan sebagai salah satu cara untuk menguji
kepatuhan serta kesadaran WP terhadap kewajibannya membayar pajak. Kesadaran
dan kepatuhan ini juga akan berdampak pada penerimaan negara, dimana kita tahu
bahwa penerimaan negara digunakan untuk pembangunan nasional. Sadar dan patuh
akan pajak berarti sadar dan patuh terhadap cita-cita negara yaitu
mensejahterakan masyarakat.
Daftar Pustaka
Waluyo. 2010. Perpajakan Indonesia. Jakarta : Salemba
Empat.
http://kamusbahasaindonesia.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar